Terkadang
aku merasa ada yang salah dengan diriku. Membuang teman-teman? Tidak, bukan
itu. Mungkin lebih tepatnya karena krisis kepercayaan. Setelah semua yang aku lalui.
Bersama siapa dan bagaimana mereka. Aku tahu, kepalsuan itu terlihat jelas.
Meski mereka terlihat biasa saja, tapi kebencianku begitu jelas. Penghinaan
itu, ingatan-ingatan kelabu sebuah persaingan. Entah apa yang mereka cari.
Mungkin popularitas? Sehingga orang-orang yang menurut mereka tidak masuk kualifikasi
diinjak-injak begitu saja.
Aku memang tak cantik apalagi menarik, tapi aku sangat yakin cara berpikirku lebih jauh diatas mereka-mereka yang hanya menonjolkan sisi akademis. Kecurangan-kecurangan dilakukan hanya demi sebuah predikat tanpa tahu apa sebenarnya yang mereka pelajari. Aku pun menyerah. Apalah arti sebuah predikat. Persetan!
Aku memang tak cantik apalagi menarik, tapi aku sangat yakin cara berpikirku lebih jauh diatas mereka-mereka yang hanya menonjolkan sisi akademis. Kecurangan-kecurangan dilakukan hanya demi sebuah predikat tanpa tahu apa sebenarnya yang mereka pelajari. Aku pun menyerah. Apalah arti sebuah predikat. Persetan!
Ketika
ujian dicari, setelah itu siapa yang peduli? Entah apa yang kulakukan selama
ini. Aku baru menyadari, yang diperlukan hanya pemahaman, bukan pengakuan,
walaupun hanya sepihak. Pihak yang mengaku orang-orang yang berpendidikan, yang
sekedar bla bla bla memberi ilmu yang jelas-jelas ada di buku. Yang ada di otak
mereka cuma nilai bagus. Mereka cuma menuntut nilai tinggi tanpa peduli mereka
yang diberi itu memahami atau tidak. Aku benci formalitas.
Kenapa
mereka hanya menghakimi, tanpa mau mengupas lebih terperinci? Aku memang bukan
golongan tinggi yang pantas untuk membicarakan sampah dipikiranku ini. Aku juga
bukan ahli sastra yang pandai memilih kata-kata. Aku pun tak tahu apa yang aku
bicarakan ini.
Bertahun-tahun hidup dibawah tekanan. Mungkin secara tidak
langsung sudah menjadi default dalam
kehidupan masa kini. Dimana yang tidak bermodal wajah akan ditinggalkan, dimana
yang pola pikirnya berbeda akan diasingkan, dimana yang tak punya apa-apa akan
dinjak-injak harga dirinya. Berteman tanpa ada ketulusan, hanya menumpang
popularitas. Saat ada teman dilupakan, saat diperlukan barulah dielukan. Teman
yang sukses dijatuhkan. Teman yang berjuang dilecehkan. Tanpa pernah tahu
betapa susahnya merangkak dari keterpurukan. Ada yang LEBIH dipuja-puja, yang
KURANG dipandang sebelah mata. Mengaku teman tapi main belakang. Ada juga yang
katanya peduli tapi malah tidak bisa berbuat apa-apa. Alasannya? Bukan urusan. Jika
sudah begitu, apa yang akan didapatkan? Selama ego dan gengsi masih melekat
erat pada orang-orang, masalah seperti ini takkan pernah ada habisnya.